Teman-Teman KKN 2012

KKN 2012 Di Lampung Selatan Kec. Palas Desa Bumi Restu .

Wisudaan NoviTriyani

Wisuda My Sister 2012 Phancabakti Bandar Lampung.

KKL 2011 YOKYAKARTA

Susanto Dan Yogi Aprianto.

Sahabat KKN 2012

Siger Propinsi Lampung.

Angkatan 2009 Pendidikan Kimia

Universitas Lampung.

Wednesday, June 11, 2014

Indahnya Ombak Laut Krui


Peselancar membelah dan mencabik ombak adalah sebuah pemandangan yang spektakuler. Sama seperti melihat gambar-gambar peselancar pro in action di majalah-majalah selancar, menakjubkan. Menyaksikan aksi para peselancar itu menaklukkan ombak-ombak besar, adalah sebuah sensasi, sebuah kenikmatan yang hanya bisa dirasakan, sulit diceritakan. Dan apabila yang kita saksikan adalah para peselancar pro–yang setiap manuver-nya nyaris sempurna–tidak pernah jatuh–lincah di ombak besar, maka kesenangannya berlipat-lipat, waktu seperti berjalan begitu cepat, tak terasa, sudah berjam-jam kita duduk terpaku.

Meliuk-liuk di atas ombak tentu butuh keahlian, sesuatu yang sulit dilakukan oleh orang yang tidak terlatih. Bukan hanya keberanian menghadapi ombak yang dibutuhkan, tetapi juga kenekadan, karena ombak yang bagus biasanya terdapat di surf yang berkarang, salah-salah bisa celaka. Tidak jarang para peselancar itu cedera akibat terjatuh membentur karang.

Namun, tidak semua surf terdapat di karang, ada juga surf yang terdapat di pasir, ini yang disebut beachbreak. Akan tetapi, beachbreak ini umumnya tidak bagus–ombaknya kurang berkualitas. Tidak seperti ombak karang yang kebanyakan surfable, Jarang ada beachbreakyang ombaknya bagus, yang dapat digunakan oleh peselancar yang sudah mahir, kalaupun ada, tidak sekonsisten ombak karang. Beachbreak umumnya hanya cocok untuk peselancar pemula, yang baru belajar.


Tempat berselancar di Krui, Lampung Barat, ada banyak, umumnya adalah ombak karang. Hanya ada satu beachbreak di Krui, yaitu di pantai Mandiri, itu pun kurang populer, karena jarang ada ombak bagus di sana. Sedangkan ombak karang konsisten bagus selama musim selancar.

Di antara ombak karang itu, yang paling populer adalah Karang Nyimbor. “Karang Nyimbor” adalah nama nasional dan internasionalnya, sedangkan masyarakat setempat menyebutnya “Kaghang Nyimbogh”. “Kaghang” artinya “karang”, sedangkan “nyimbogh” berarti “menciprat”. Kira-kira, kalau Anda berdiri di karang, Anda akan kecipratan air, maksudnya. Karang Nyimbor nyaris sudah terkenal di jagad perselancaran di bumi ini. Surfing spot ini, juga beberapa spot lain di Krui, seperti Pugung Penengahan (Jimmy’s), Pugung Tampak (Drew’s), dan Labuhan Jukung, pernah beberapa kali diliput majalah selancar luar negeri.

Dari tahun ke tahun, peselancar yang datang ke Karang Nyimbor selalu bertambah. Mereka umumnya mengetahui tempat ini dari cerita teman-teman mereka yang pernah berkunjung ke sini. Cerita dari mulut ke mulut ini terus berkembang, mengalahkan promosi lewat media cetak dan internet.

Hal ini tentu tak luput dari suasana suasana lingkungan yang kondusif, serta dukungan masyarakat setempat terhadap perkembangan pariwisata di daerahnya, dan tentu saja, tidak lepas pula dari kualitas surf di Karang Nyimbor itu sendiri. “Di sini banyak fun waves. Ada banyak pilihan ombak, baik bagi yang sudah mahir, maupun bagi pemula. Di samping itu, air lautnya bersih dan hangat, dan tidak terlalu banyak peselancar di sini”, kata Lyon peselancar dari Australia, ketika saya tanya apa perbedaan surf di Krui dengan di tempat lain yang pernah dia kunjungi.


Karang Nyimbor ini pula lah yang paling banyak diliput media, baik nasional maupun internasional, baik cetak maupun elektronik. Akan tetapi ternyata liputan media masih kalah dibandingkan dengan cerita dari mulut ke mulut. Umumnya, peselancar mancanegara yang datang ke Karang Nyimbor, mengetahui tempat ini dari cerita mulut ke mulut. “Saya tahu tempat ini dari teman saya yang pernah ke sini tahun lalu”, kata Martin peselancar dari Australia yang baru pertama kali ke Karang Nyimbor. “Tadi pagi ombaknya bagus. Biasanya menjelang petang akan lebih bagus lagi”, katanya.

Ada tiga tipe ombak, yang pecah di  kiri, yang pecah di kanan, dan yang pecah di tengah. Ombak pecah di tengah, jarang terdapat. Di Krui hanya ada satu, yaitu di Way Redak. Peselancar menyembut ombak ini A-shape, karena bentuknya seperti huruf A. A-shapeyang ada di Way Redak ini sangat pendek dan singkat, saking pendek dan singkatnya, mereka menyebutnya four seconds, karena durasinya cuma beberapa detik.Tidak banyak yang menyukai ombak ini.

Yang pecah di kiri disebut lefthander dalam istilah selancar, sedangkan yang pecah di kanan, disebut righthander. Ombak di Karang Nyimbor ini, semuanya lefthander, dengan berbagai ukuran, mulai dari yang kecil, sekitar 6 feet, sampai yang terbesar sekitar 14feet. Bagi peselancar pemula, ombak seukuran 6 feet, sangat cocok untuk berlatih. Sedangkan bagi peselancar pro, lebih cocok ukuran 8 feet ke atas. Namun, kadang-kadang, ombak-ombak di Karang Nyimbor ini meradang, mencapai lebih dari 14 feet. Kalau sudah demikian, kebanyakan peselancar pergi mencari tempat lain yang ukuran ombaknya lebih kecil. Labuhan Jukung adalah tujuan utama para peselancar, ketika ombak di Karang Nyimbor terlalu besar.

Perkembangan wisata selancar di Karang Nyimbor khususnya, dan di Krui umumnya, cukup menggembirakan. Setiap tahunnya, ribuan peselancar dan wisatawan mancanegara berkunjung ke tempat ini, jumlahnya, dari tahun ke tahun, terus bertambah. Hal ini seiring dengan pertumbuhan jumlah penginapan yang semakin hari, semakin banyak. Kalau dulu, awal tahun 2000-an, baru ada dua penginapan, sekarang jumlahnya sudah puluhan.

Penginapan yang oleh peselancar disebut surf camp ini terletak di pinggir pantai, sehingga memudahkan para peselancar mencek ombak di pagi hari. Para peselancar umumnya memang menyenangi tempat menginap yang terletak di pinggir pantai, karena, dengan demikian,  mereka tidak perlu repot-repot setiap kali ingin mencek ombak. Di samping itu, jika tidak sedang berselancar, mereka bisa duduk santai di atas platform, menyaksikan teman mereka berselancar. Surf camps di Karang Nyimbor umumnya menyediakan platformseperti ini untuk para tamunya.

Surf camps di Karang Nyimbor terdiri dari berbagai tipe, mulai dari yang sederhana, berdinding papan, sampai yang lumayan, berdinding tembok permanen. Di tengah rimbun daun dan pepohonan hijau, surf camps ini berudara sejuk. Tak perlu AC karena AC alam sudah cukup untuk menyejukkan udara, di tengah hari bolong sekalipun. Desainnya yang unik, dan lokasinya yang asri, menimbulkan sensasi kenikmatan, sehingga pengunjung betah berlama-lama. Tidak heran, turis mancanegara betah berlama-lama di sini. Bukan hanya seminggu dua minggu, bahkan ada yang tinggal di sini selama berbulan-bulan.


Surf camps ini menawarkan tarif yang berbeda-beda, sesuai dengan kelas dan fasilitasnya, mulai dari 150.000 rupiah per hari, sampai 300.000 rupiah per hari, termasuk 3 kali makan. Surf camps dengan tarif 300.000-an menyediakan fasilitas yang lumayan bagus seperti TV, meja biliar, dan sarana olahraga. Surf camps yang dikelola oleh orang lokal, umumnya bertarif rendah, bahkan bisa turun sampai 100.000 rupiah per hari, termasuk makan 3 kali, jika sedang musim sepi, namun fasilitasnya minim, dan berjarak relatif jauh dari ombak. Semua surf camps di Karang Nyimbor ini menyediakan warung yang menjual kebutuhan konsumsi seperti minuman, rokok, dan snacks.

Krui, Lamoung Barat (dalam lingkaran)
Di area sekitar surf camps ini, sudah cukup tersedia segala kebutuhan harian seperti makan dan minum, sehingga Anda tidak perlu repot-repot pergi ke pasar untuk belanja. Lokasi surf camps ini cukup terisolasi dari perkampungan penduduk, sehingga suasananya nyaman dan tidak bising, jauh dari polusi lalu lintas. Namun, jika Anda perlu berjalan-jalan, atau pergi ke tempat berselancar yang lain, Anda bisa menyewa sepeda motor, dengan tarif 50.000 rupiah per hari. Berpergian dengan kendaraan umum, jarang dilakukan turis, karena tidak nyaman, dan banyak makan waktu.

Sumber : 


Tuesday, June 10, 2014

Monumen Nasional

Merdeka Square Monas 02.jpgMonumen Nasional atau yang populer disingkat dengan Monas atau Tugu Monas adalah monumen peringatan setinggi 132 meter (433 kaki) yang didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pembangunan monumen ini dimulai pada tanggal 17 Agustus 1961 di bawah perintah presiden Sukarno, dan dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975. Tugu ini dimahkotai lidah api yang dilapisi lembaran emasyang melambangkan semangat perjuangan yang menyala-nyala. Monumen Nasional terletak tepat di tengah Lapangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat.




Sejarah

Setelah pusat pemerintahan Republik Indonesia kembali ke Jakarta setelah sebelumnya berkedudukan di Yogyakarta pada tahun 1950 menyusul pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1949, Presiden Sukarno mulai memikirkan pembangunan sebuah monumen nasional yang setara dengan Menara Eiffel di lapangan tepat di depan Istana Merdeka. Pembangunan tugu Monas bertujuan mengenang dan melestarikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar terus membangkitkan inspirasi dan semangat patriotisme generasi saat ini dan mendatang.


Pada tanggal 17 Agustus 1954 sebuah komite nasional dibentuk dan sayembara perancangan monumen nasional digelar pada tahun 1955. Terdapat 51 karya yang masuk, akan tetapi hanya satu karya yang dibuat oleh Frederich Silaban yang memenuhi kriteria yang ditentukan komite, antara lain menggambarkan karakter bangsa Indonesia dan dapat bertahan selama berabad-abad. Sayembara kedua digelar pada tahun 1960tapi sekali lagi tak satupun dari 136 peserta yang memenuhi kriteria. Ketua juri kemudian meminta Silaban untuk menunjukkan rancangannya kepada Sukarno. Akan tetapi Sukarno kurang menyukai rancangan itu dan ia menginginkan monumen itu berbentuk lingga dan yoni. Silaban kemudian diminta merancang monumen dengan tema seperti itu, akan tetapi rancangan yang diajukan Silaban terlalu luar biasa sehingga biayanya sangat besar dan tidak mampu ditanggung oleh anggaran negara, terlebih kondisi ekonomi saat itu cukup buruk. Silaban menolak merancang bangunan yang lebih kecil, dan menyarankan pembangunan ditunda hingga ekonomi Indonesia membaik. Sukarno kemudian meminta arsitek R.M. Soedarsono untuk melanjutkan rancangan itu. Soedarsono memasukkan angka 17, 8 dan 45, melambangkan 17 Agustus 1945 memulai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ke dalam rancangan monumen itu. Tugu Peringatan Nasional ini kemudian dibangun di areal seluas 80 hektare. Tugu ini diarsiteki oleh Friedrich Silaban dan R. M. Soedarsono, mulai dibangun 17 Agustus 1961.

Pembangunan

Sukarno menginspeksi pembangunan Monas. Foto ini dibuat sekitar tahun 1963-1964.
Pembangunan terdiri atas tiga tahap. Tahap pertama, kurun 1961/1962 - 1964/1965 dimulai dengan dimulainya secara resmi pembangunan pada tanggal 17 Agustus 1961 dengan Sukarno secara seremonial menancapkan pasak beton pertama. Total 284 pasak beton digunakan sebagai fondasi bangunan. Sebanyak 360 pasak bumi ditanamkan untuk fondasi museum sejarah nasional. Keseluruhan pemancangan fondasi rampung pada bulan Maret 1962. Dinding museum di dasar bangunan selesai pada bulanOktober. Pembangunan obelisk kemudian dimulai dan akhirnya rampung pada bulan Agustus 1963. Pembangunan tahap kedua berlangsung pada kurun 1966 hingga 1968 akibat terjadinya Gerakan 30 September 1965 (G-30-S/PKI) dan upaya kudeta, tahap ini sempat tertunda. Tahap akhir berlangsung pada tahun 1969-1976 dengan menambahkan diorama pada museum sejarah. Meskipun pembangunan telah rampung, masalah masih saja terjadi, antara lain kebocoran air yang menggenangi museum. Monumen secara resmi dibuka untuk umum dan diresmikan pada tanggal 12 Juli 1975 oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto.[4][5] Lokasi pembangunan monumen ini dikenal dengan nama Medan Merdeka. Lapangan Monas mengalami lima kali penggantian nama yaituLapangan Gambir, Lapangan Ikada, Lapangan Merdeka, Lapangan Monas, dan Taman Monas. Di sekeliling tugu terdapat taman, dua buah kolam dan beberapa lapangan terbuka tempat berolahraga. Pada hari-hari libur Medan Merdeka dipenuhi pengunjung yang berekreasi menikmati pemandangan Tugu Monas dan melakukan berbagai aktivitas dalam taman.

Rancang Bangun Monumen

Rancang bangun Tugu Monas berdasarkan pada konsep pasangan universal yang abadi; Lingga dan Yoni. Tugu obelisk yang menjulang tinggi adalah lingga yang melambangkan laki-laki, elemen maskulin yang bersifat aktif dan positif, serta melambangkan siang hari. Sementara pelataran cawan landasan obelisk adalah Yoni yang melambangkan perempuan, elemen feminin yang pasif dan negatif, serta melambangkan malam hari.[6] Lingga dan yoni merupakan lambang kesuburan dan kesatuan harmonis yang saling melengkapi sedari masa prasejarah Indonesia. Selain itu bentuk Tugu Monas juga dapat ditafsirkan sebagai sepasang "alu" dan "Lesung", alat penumbuk padi yang didapati dalam setiap rumah tangga petani tradisional Indonesia. Dengan demikian rancang bangun Monas penuh dimensi khas budaya bangsa Indonesia. Monumen terdiri atas 117,7 meter obelisk di atas landasan persegi setinggi The 17 meter, pelataran cawan. Monumen ini dilapisi dengan marmer Italia.


Kolam di Taman Medan Merdeka Utara berukuran 25 x 25 meter dirancang sebagai bagian dari sistem pendingin udara sekaligus mempercantik penampilan Taman Monas. Di dekatnya terdapat kolam air mancur dan patung Pangeran Diponegoro yang sedang menunggang kudanya, terbuat dari perunggu seberat 8 ton. Patung itu dibuat oleh pemahat Italia, Prof. Coberlato[7] sebagai sumbangan oleh Konsulat Jendral Honores, Dr Mario Bross di Indonesia. Pintu masuk Monas terdapat di taman Medan Merdeka Utara dekat patung Pangeran Diponegoro. Pintu masuk melalui terowongan yang berada 3 m di bawah taman dan jalan silang Monas inilah, pintu masuk pengunjung menuju tugu Monas. Loket tiket berada di ujung terowongan. Ketika pengunjung naik kembali ke permukaan tanah di sisi utara Monas, pengunjung dapat melanjutkan berkeliling melihat relief sejarah perjuangan Indonesia; masuk ke dalam museum sejarah nasional melalui pintu di sudut timur laut, atau langsung naik ke tengah menuju ruang kemerdekaan atau lift menuju pelataran puncak monumen.


Relief Sejarah Indonesia

Pada halaman luar mengelilingi monumen, pada tiap sudutnya terdapat relief timbul yang menggambarkan sejarah Indonesia. Relief ini bermula di sudut timur laut dengan mengabadikan kejayaan Nusantara pada masa lampau; menampilkan sejarah Singhasari dan Majapahit. Relief ini berlanjut secara kronologis searah jarum jam menuju sudut tenggara, barat daya, dan barat laut. Secara kronologis menggambarkan masa penjajahan Belanda, perlawanan rakyat Indonesia dan pahlawan-pahlawan nasional Indonesia, terbentuknya organisasi modern yang memperjuangkan Indonesia Merdeka pada awal abad ke-20, Sumpah Pemuda, Pendudukan Jepang dan Perang Dunia II, proklamasi kemerdekaan Indonesia disusul Revolusi dan Perang kemerdekaan Republik Indonesia, hingga mencapai masa pembangunan Indonesia modern. Relief dan patung-patung ini dibuat dari semen dengan kerangka pipa atau logam, sayang sekali beberapa patung dan arca mulai rontok dan rusak akibat hujan dan cuaca tropis.

Museum Sejarah Nasional
Pelajar memperhatikan diorama sejarah Indonesia
Di bagian dasar monumen pada kedalaman 3 meter di bawah permukaan tanah, terdapat Museum Sejarah Nasional Indonesia. Ruang besar museum sejarah perjuangan nasional dengan ukuran luas 80 x 80 meter, dapat menampung pengunjung sekitar 500 orang. Ruangan besar berlapis marmer ini terdapat 48 diorama pada keempat sisinya dan 3 diorama di tengah, sehingga menjadi total 51 diorama. Diorama ini menampilkan sejarah Indonesia sejak masa pra sejarah hingga masa Orde Baru. Diorama ini dimula dari sudut timur laut bergerak searah jarum jam menelusuri perjalanan sejarah Indonesia; mulai masa pra sejarah, masa kemaharajaan kuno seperti Sriwijaya dan Majapahit, disusul masa penjajahan bangsa Eropa yang disusul perlawanan para pahlawan nasional pra kemerdekaan melawan VOC dan pemerintah Hindia Belanda. Diorama berlangsung terus hingga masa pergerakan nasional Indonesia awal abad ke-20, pendudukan Jepang, perang kemerdekaan dan masa revolusi, hingga masa Orde Baru pada masa pemerintahan Suharto.

Ruang Kemerdekaan


Ruang kemerdekaan
Di bagian dalam cawan monumen terdapat Ruang Kemerdekaan berbentuk amphitheater. Ruangan ini dapat dicapai melalui tangga berputar di dari pintu sisi utara dan selatan. Ruangan ini menyimpan simbol kenegaraan dan kemerdekaan Republik Indonesia. Diantaranya naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang disimpan dalam kotak kaca di dalam gerbang berlapis emas, lambang negara Indonesia, peta kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia berlapis emas, dan bendera merah putih, dan dinding yang bertulis naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Di dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional ini digunakan sebagai ruang tenang untuk mengheningkan cipta dan bermeditasi mengenang hakikat kemerdekaan dan perjuangan bangsa Indonesia. Naskah asli proklamasi kemerdekaan Indonesia disimpan dalam kotak kaca dalam pintu gerbang berlapis emas. Pintu mekanis ini terbuat dari perunggu seberat 4 ton berlapis emas dihiasi ukiran bunga Wijaya Kusuma yang melambangkan keabadian, serta bunga Teratai yang melambangkan kesucian. Pintu ini terletak pada dinding sisi barat tepat di tengah ruangan dan berlapis marmer hitam. Pintu ini dikenal dengan nama Gerbang Kemerdekaan yang secara mekanis akan membuka seraya memperdengarkan lagu "Padamu Negeri" diikuti kemudian oleh rekaman suara Sukarno tengah membacakan naskah proklamasi pada 17 Agustus 1945. Pada sisi selatan terdapat patung Garuda Pancasila, lambang negara Indonesia terbuat dari perunggu seberat 3,5 ton dan berlapis emas. Pada sisi timur terdapat tulisan naskah proklamasi berhuruf perunggu, seharusnya sisi ini menampilkan bendera yang paling suci dan dimuliakan Sang Saka Merah Putih, yang aslinya dikibarkan pada tanggal 17 Agustus1945. Akan tetapi karena kondisinya sudah semakin tua dan rapuh, bendera suci ini tidak dipamerkan. Sisi utara diding marmer hitam ini menampilkan kepulauan Nusantara berlapis emas, melambangkan lokasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.Semua itu sangat indah.

Pelataran Puncak dan Api Kemerdekaan


Pelataran setinggi 115 meter tempat pengunjung dapat menikmati panorama Jakarta dari ketinggian


Sebuah elevator (lift) pada pintu sisi selatan akan membawa pengunjung menuju pelataran puncak berukuran 11 x 11 meter di ketinggian 115 meter dari permukaan tanah. Lift ini berkapasitas 11 orang sekali angkut. Pelataran puncak ini dapat menampung sekitar 50 orang, serta terdapat teropong untuk melihat panorama Jakarta lebih dekat. Pada sekeliling badan elevator terdapat tangga darurat yang terbuat dari besi. Dari pelataran puncak tugu Monas, pengunjung dapat menikmati pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta. Bila kondisi cuaca cerah tanpa asap kabut, di arah ke selatan terlihat dari kejauhan Gunung Salak di wilayah kabupaten Bogor, Jawa Barat, arah utara membentang laut lepas dengan pulau-pulau kecil.

Di puncak Monumen Nasional terdapat cawan yang menopang nyala lampu perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35 Kilogram. Lidah api atau obor ini berukuran tinggi 14 meter dan berdiameter 6 meter terdiri dari 77 bagian yang disatukan. Lidah api ini sebagai simbol semangat perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan. Awalnya nyala api perunggu ini dilapisi lembaran emas seberat 35 kilogram[1], akan tetapi untuk menyambut perayaan setengah abad (50 tahun) kemerdekaan Indonesia pada tahun 1995, lembaran emas ini dilapis ulang sehingga mencapai berat 50 kilogram lembaran emas.[9] Puncak tugu berupa "Api Nan Tak Kunjung Padam" yang bermakna agar Bangsa Indonesia senantiasa memiliki semangat yang menyala-nyala dalam berjuang dan tidak pernah surut atau padam sepanjang masa. Pelataran cawan memberikan pemandangan bagi pengunjung dari ketinggian 17 meter dari permukaan tanah. Pelataran cawan dapat dicapai melalui elevator ketika turun dari pelataran puncak, atau melalui tangga mencapai dasar cawan. Tinggi pelataran cawan dari dasar 17 meter, sedangkan rentang tinggi antara ruang museum sejarah ke dasar cawan adalah 8 m (3 meter dibawah tanah ditambah 5 meter tangga menuju dasar cawan). Luas pelataran yang berbentuk bujur sangkar, berukuran 45 x 45 meter, semuanya merupakan pelestarian angka keramat Proklamasi Kemerdekaan RI (17-8-1945).
Sebanyak 28 kg dari 38 kg emas pada obor monas tersebut merupakan sumbangan dari Teuku Markam, seorang pengusaha Aceh yang pernah menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia.