pernah, aku memburumu
di pinggir gigil remang itu
ketika kota lembab oleh senyap
cahaya lampu
pintu toko menutup,
mobil sekaku tubuh
hujan yang gaduh kian
gegas membawa masa lalu
waktu kau dan aku
saling janji
untuk tak lagi bertemu
tapi, apa daya,
perempuanku
merobek batas maut
dan hidup yang berkarat
berlari menuju
berahi, menggegaskan gelap,
mengucurkan keringat
yang berkeriap
mengulum nafsu akan
bau tubuhmu
dan berusaha agar kau
tahu
bahwa bagi asmara yang terlunta
tak ada tukar—bahkan
dengan nyawa!
lantas—mengapa kau
tersenyum dan matamu durjana?
apakah sia-sia
keinginan untuk menjumpa?
bukankah tubuh
sekadar ruang singgah?
antara nama dan
tiada,
hasut tanah dan
dingin surga,
atau sekejap nikmat
yang kelak khianat
maka aku memburumu di
pinggir gigil remang itu
memastikan untuk
bertemu
jejak kesumat pada
tubuhmu
dan kabut enggan
luruh, jalan penuh sisa
oleh senyap cahaya
lampu
jejak sepatuku—tak
pula sua kepadamu
2002
0 comments:
Post a Comment