Wednesday, October 24, 2012

cawan sepasang sungai



Dua sungai yang lama tak bertemu kini telah bertemu
Mereka berpelukan, setelah tegur sapa terlupakan
Mengisahkan kenangannya masing-masing
Tentang masa kecil, tentang luka di lengan
Tentang malam terakhir persetubuhan
Di sebuah atap rumah
Saat purnama menjanda
saat kabut berlari ke sana-ke mari
Menggonggong seperti anjing dan burung jalak
Ketika musim semi merekahkan sabdanya
Ketika keinginan untuk bertemu
sama kuatnya dengan keinginan untuk berpisah

Di  sana mereka bertemu kembali
Sungai pertama memperlihatkan boreh di pipinya
“tanda ini kudapat saat aku berusaha mencium bibirmu,
dan kau tak mau,” katanya
sungai kedua tersenyum,” itulah akibat bila kau meragu
di tengah pilihan untuk tak meragu,” ujarmu

tapi sudahlah, semua telah berlalu
berlalu seperti bulu-bulu hari yang berlepasan, berterbangan
ditiup lidah angin yang takkan kunjung usai

dan borehan itu—adalah masa lalu
Dan masa lalu adalah
air yang pernah mengalir di tubuhmu
tak ingin menetap, tak ingin menjadi abadi,
tak ingin mati, dan angkuh seperti batu|
yang selalu bersitegang kepada waktu
dan kau, kekasihku. Dulu..
ujar sungai pertama sambil meninju kecil
ujung lengan baju sungai kedua

takkah kau lihat bekas gigitanmu di leherku, kata sungai kedua
kau rupanya geram dulu
saat kau tahu kalau aku telah berselingkuh dengan Waktu
untuk menjadi abadi
di alir nadi.
Rupanya kau merasa malu
Mengapa sungai pejantan seperti kau
Harus takluk di bawah bibir sungai perempuan
dengan keangkuhan yang tak jelas juntrungnya itu
Kau lampiaskan dengan mengigit leherku
Menggigit perjanjian antara aku dan Waktu

Tapi, itu masa lalu


Dan kini kita bertemu


Bukankah isyarat ini buah pohon Waktu
berulangkali lahir tanpa kata akhir
Tanpa tanda seru

Sepasang sungai yang bersetubuh
Seperti sepasang merak yang pancarkan warna purnama
Cahaya yang jadi ilham hujan dan kemarau
Untuk acuh kepada debu atau dingin ruang tunggu

Dan, buktinya, aku tetap menunggumu

Ya, kau tetap menungguku

Bukankah menunggu adalah bagian lain setangkup musim
Segulung peta, bersit koma
Dan jeda saat kereta tiba
Saat penumpang bergegas mengusung jenazah

Bukankah menunggu adalah istirah
Perihal yang selalu muncul dari mata air rutin
Secabik hening di antara praduga
derita yang bahagia

Dan, kau juga menungguku

Sebenarnya aku menunggu diriku sendiri
Memastikan, apakah laut yang asin
Tetap mengandung garam

Suasana yang terbangun dari buah makam cahaya
sSekerjap bidikan di atas badan sang pencipta
Iringan jenazah, tangkai bunga, dan
Altar penuh darah

Darah yang terbit
dari keinginan
              menjadi abadi
jadi duri
Bagi Waktu,
bagi lintasan kematian yang selalu berkunjung
Seperti tukang pos yang hadir di depan rumah
tergesa mengetuk pintu
Mengantar surat lamaran
Dari pemilik malam

Atau semacam metafora

Istilah untuk mengatakan yang tak terkatakan--
              Buih dan rona koral di pipi lautan
kering mulut pantai ketika pasir terbakar

Bukan oleh api dan badai, tapi oleh hasrat
Untuk menguasai diri
Pertapaan yang kau kunjungi setiap saat
Setiap detik, hingga ke abad

Di jubahmu yang kuning dan berdebu
Waktu sembunyi umpama kepala penyu
Umpama racun ular, dan raung kucing hutan
Saat ingin mencekam lawan
Saat ingin menerkam diam
Bulan karam di bawah lidah
Lidahmu menyimpan rumpunan dedaunan
Daunan itu yang selalu menzikirkan nama tuhan
Tuhan yang mengembarai badan
Badan di mana bulan pun karam
Metafora. Kalimat tanpa warna

Kalimat yang kau bisikkan berulangkali padaku
Yang kini  terlampau tua
Dan hancur oleh geram cuaca

Cuaca. Warna. Sulaman kebun teh dan hijau daun angsana
Mahkota para dewa. Cahaya tipis dari seruling
Para raksasa

Kini aku ingin melihat kenyataan. Tanpa cuaca
Tanpa praduga
Aku ingin kau berkata apa adanya
Tanpa prasangka
Melihat sungai hanya sebagai sungai
Melihat air dan turut mengalir
Melihat laut—dan kau melompat bersama kabut
Bersama tiang-tiang kapal, liukan ikan
Dan gelisah mata mercusuar

Metafora dan mataku telah menjadi buta

Cukup lama kita saling melupakan
Cukup lama kita saling meninggalkan

Padahal muara—tempat di mana kita akan saling menjumpa
Telah lama menanti dengan pasrah
Muara adalah mahligai perkawinan
Aku dan engkau
Masa lalu dan masa depan
Perkawinan dan perceraian

Karenanya, kekasihku, sungai bergambar bulan
Peluk aku sekarang
Dan jangan berkomentar
Cukup bila kau diam
Hanyut segala silam

Pegang tanganku dan hayati sedih waktu
Yang tak mampu memerangkap kita
Dengan bilah-bilahnya yang angkuh
Karena kita berdua sungai
Dipisah oleh tanah
Tapi bersatu dalam gelora

0 comments:

Post a Comment